Tampilkan postingan dengan label news. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label news. Tampilkan semua postingan

BPPP Banyuwangi Berupaya Meningkatkan Bulk Commodity Melalui Pelatihan Penangkapan Ikan dengan Purse Seine

Perikanan tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia diperlukan pengelolaan yang berorientasi jangka panjang (sustainability management). Dalam upaya meningkatkan produksi hasil tangkap, dapat dilakukan dengan otimalisasi usaha penangkapan ikan yang bersifat ”bulk commodity” yaitu peangapan ikan terhadap jenis-jenis komoditas perikanan dalam jumlah massal.  Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan perikanan tangkap berbasis jaring lingkar atau lebih dikenal dengan penangkapan ikan dengan jaring purse seine.

Dalam rangka implementasi kebijakan peningkatan produksi perikanan terbesar tahun 2014, pengembangan SDM Perikanan tangkap diperlukan sebagai upaya optimalisasi penggunaan alat tangkap secara efektif dan efisien dan bertanggungjawab.  Untuk itulah BPPP Banyuangi menyelanggarakan pelatihan penangkapan ikan dengan purse seine bagi nelayan Kabupaten Tanah Bumbu bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan.

Dipilihnya lokasi pelatihan tersebut dikarenakan Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan memiliki panjang garis pantai sekitar 158,7 Km2 dan luas perairan 640 Km² merupakan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan usaha kelautan dan perikanan di bidang penangkapan ikan. Sumberdaya manusia yang memadai serta teknologi yang ramah lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat kelautan dan perikanan khususnya di Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan. Purse seine merupakan jenis alat tangkap yang cukup dominan dipergunakan oleh nelayan di beberapa perairan Indonesia. Purse seine atau pukat cincin adalah suatu alat yang efektif untuk penangkapan jenis ikan pelagis yang gerombolannya besar (layang, lemuru, tuna, cakalang dan ikan-ikan pelagis kecil lainnya).

Perakitan Rumpon Permukaan

Pelatihan dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari dari tanggal 16 s.d 22 Mei 2010 dengan jumlah jam berlatih 56 jam @ 45 menit dan diikuti oleh 30 (tiga puluh) orang. Acara pembukaan dihadiri oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Selatan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Bumbu, Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Banyuwangi, panitia penyelenggara dan undangan lainnya.

Kurikulum yang diajarkan meliputi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, peraturan perundang-undangan perikanan, bahan alat perikanan, metode dan teknik penangkapan ikan dengan purse seine, daerah penangkapan ikan, pelayaran datar, navigasi elektronik, mesin bantu penangkapan, perawatan mesin perikanan dan pembuatan rumpon.

Materi pembuatan rumpon diajarkan bertujuan untuk meningkatkan keefektivan operasi penangkapan ikan menggunakan purse seine. Rumpon tidak termasuk dalam alat penangkap ikan melainkan alat bantu untuk mengumpulkan ikan (fish aggregate device/FAD). Rumpon menjadi tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil sehingga mengundang  ikan-ikan yang lebih besar untuk datang dengan tujuan feeding sehingga dengan menggunakan rumpon pada pengoperasian purse seine diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan.

Penyerahan STTP oleh Kepala Puslat KKP

Kegiatan pelatihan berakhir pada tanggal 22 Mei 2010 dan ditutup langsung oleh Bapak Dr. Ir. R. Akhmad Budiono, MM selaku Kepala Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan. Semua peserta dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan Surat Tanda Tamat Pelatihan (STTP) dari Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan.  Diharapkan dengan pelatihan ini nelayan propinsi Kalimantan Selatan dapat meningkatkan hasil tangkapan dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan untuk keberlanjutan perikanan tangkap.


Sumber : BPPP Banyuwangi


SAIL BANDA 2010 Memacu Pekonomian Maluku

Sail Banda 2010 merupakan kegiatan bahari berskala internasional dalam tidak terlalu lama lagi akan segera dimulai. Sebagai tanda dimulainya Sail Banda,  Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad yang juga Ketua Panitia Nasional Sail Banda 2010, bersama Menteri Kesejahteraan Rakyat, Kepala Staf TNI AL dan Gubernur Maluku pada hari Minggu (4/7) secara resmi melepas kapal operasi bakti Surya Bhaskara Jaya di dermaga Kolinlamil Jakarta. Lebih lanjut Fadel menegaskan bahwa Sail Banda 2010 dipastikan akan mendongkrak perekonomian Maluku, karena diperkirakan lebih dari 5.400 orang peserta dari dalam dan luar negeri akan terlibat dalam kegiatan ini..

    “Sail Banda 2010 memiliki dampak yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku, baik dampak secara langsung atau jangka pendek maupun dampat tidak langsung atau jangka panjang,” ujar Fadel. Dampak secara langsung tambah Fadel adalah pengalihan program dan kegiatan pembangunan fisik oleh beberapa kementerian ke Provinsi Maluku yang semula direncanakan di provinsi lain. Selain Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang merubah program dan kegiatannya ke Provinsi Maluku adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan.

Dampak langsung lainnya adalah meningkatnya kunjungan pada saat penyelenggaraan Sail Banda 2010 ke Provinsi Maluku yang berakibat pada peningkatan peredaran uang di Provinsi Maluku khususnya di Kota Ambon. Masyarakat secara langsung juga dapat menikmati program sosial yang dilakukan pemerintah seperti pengobatan umum, pembangun masjid dan gereja, dan pemberian alat pancing tondak bagi nelayan. Selain itu bhakti sosial lain yang dapat dinikmati masyarakat adalah pemberian kitab suci, beasiswa, buku pelajaran, seragam sekolah, alat tulis siswa, dan program kantin sehat, serta sarana air bersih.

Pelaksanaan kegiatan kebaharian seperti Sail Banda 2010 telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Sulawesi Utara pada pelaksanaan Sail Bunaken 2009. Sebagai ilustrasi, keuntungan yang diperoleh Provinsi Sulawesi Utara pada saat pelaksanaan mencapai Rp. 3 triliun dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen usai pelaksanaan Sail Bunaken 2009. Transaksi perbankan selama Sail Bunaken mengalami peningkatan tajam hingga 80 persen. Jumlah transaksi rata-rata mencapai 21 ribu per hari dengan jumlah uang sebesar Rp. 446 miliar selama pelaksanaan Sail Bunaken. Sebelum Sail Bunaken rata-rata transaksi hanya 18 ribu dengan dengan nilai maksimal hanya Rp. 253 miliar per hari Pada sektor pariwisata terjadi peningkatan jumlah turis asing ke Provinsi Sulawesi Utara dari sekitar 32.760 orang pada tahun 2008 menjadi 78.203 orang pada 2009.

Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Manisnya Rumput Laut Bersanding Harunya Cendana

Perairan laut Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur belum terjamah.  Hal ini dibuktikan dengan masih bagusnya parameter kualitas air di daerah tersebut.  Memang perairan didaerah ini belum tercemar seperti beberapa daerah di Pulau Jawa dan sekitarnya yang ibaratnya laut merupakan keranjang sampah tempat pembuangan limbah baik industry, rumah tangga, pertanian dan pertambangan yang  semua produk limbahnya bermuara ke laut. Dengan demikian maka perairan di beberapa daerah pulau jawa cukup tercemar sehingga mengganggu ekosistem laut dan proses budidaya perikanan baik di laut maupun dipesisir. Lain halnya dengan beberapa daerah di sekitar Pulau Sumba yang perairannya masih “perawan”, sehingga sangat cocok untuk di lakukan budidaya laut. .

 
Daerah yang juga terkenal dengan pohon cendana ini telah masuk dalam daerah Minapolitan yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Komoditi minapolitan yang diunggulkan di daerah ini adalah rumput laut. Hal ini didukung dengan panjang pantai Kabupaten Sumba Timur sepanjang 433,6 km (Bappeda Sumba Timur, 2010) dan cocok untuk budidaya rumput laut.  Beberapa kecamatan di Kabupaten Sumba Timur yang mempunyai pesisir pantai yaitu Kecamatan Haharu, Kahaungu Eti,  Karera, Kota Waingapu, Lewa, Matawai Lapau, Kuta, Nggaha Oriangu, Paberiwai, Pahunga Lodu, Pandawai, Pinu Pahar, Rindi, Tabundung, Umalulu, Wulla Waijelu. Semua Kecamatan tersebut sangat berpotensi untuk budidaya rumput laut dan saat ini sudah terdapat beberapa kecamatan yang sudah berhasil membudidayakan rumput laut seperti kecamatan Kuta dengan jarak kurang lebih 8 km dari pusat kota Waingapu

 Dengan adanya potensi wilayah yang sangat besar itulah maka pada Tanggal 21 s/d 27 Juni 2010, telah dilaksanakan Safari Pelatihan Budidaya Rumput Laut bagi Pembudidaya atas kerjasama Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Banyuwangi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur.  Pada Pelatihan tersebut diikuti oleh pembudidaya rumput laut sebanyak 30 orang. Pelatihan tersebut dilaksanakan sebanyak 56 jam pelajaran yang terdiri atas 40 % teori dan 60 % praktek. Adapun materi yang disampaikan diantaranya yaitu Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Peraturan Perundang-undangan Perikanan, Biologi Rumput Laut, Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut, Pengelolaan Bibit Rumput Laut, Metoda Budidaya Rumput Laut, Pemeliharaan Rumput Laut, Pengendalian Hama dan Penyakit, Panen dan Penanganan Pasca Panen, Analisa Usaha Budidaya  Rumput Laut dan Akses Permodalan.

Dari 555 jenis rumput laut, terdapat beberapa jenis yang telah dibudidayakan di Kabupaten Sumba Barat. Beberapa diantara yaitu Eucheuma cottnoni dan Eucheuma spinosum. Metode budidaya yang telah digunakan oleh masyarakat setempat yaitu metode lepas dasar menggunakan patok tancap, metode kombinasi dan metode rakit apung. Setelah dilakukan identifikasi lingkungan perairan laut oleh tim budidaya BPPP Banyuwangi selama pelaksanaan diklat maka direkomendasikan metode budidaya yang cocok untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Sumba Timur adalah metode rakit apung. Beberapa kelebihan dari metode ini adalah lebih bisa diterapkan pada lokasi dengan kondisi perairan lebih dalam, tetapi masih terlindung dari gelombang besar. Dengan demikian pemilihan lokasi lebih fleksibel dibandingkan dengan metode lepas dasar. Tanaman lebih banyak menerima intensitas cahaya matahari serta gerakan air yang terus memperbaharui kandungan nutrisi pada air laut dan akan mempermudah penyerapan nutrisi oleh tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Pemeliharaan lebih mudah dilakukan, tanaman terbebas dari gangguan hama.


Para peserta pelatihan yang rata-rata memiliki sawah dan ladang sebagai penghasilan mereka, sebagian sudah menfokuskan mata pencahariannya pada budidaya rumput laut karena hasilnya cukup menjanjikan meskipun sebenarnya sector pertanian juga penting untuk kebutuhan pangan mereka.  Budidaya rumput laut didaerah Sumba Timur ini tidak hanya didukung oleh sumber daya perairan yang cukup menunjang. Namun juga didukung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah setempat dan Bank NTT. Dukungan yang diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan serta Pemda setempat yaitu telah dibangunnya pabrik pembuatan tepung rumput laut sehingga output rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya dapat langsung di olah dan diekspor ke Singapura, Malaysia dan Korea (Dinas KP Sumba Timur, 2010).  Sedangkan dukungan dari Bank NTT berupa pinjaman lunak tanpa agunan kepada kelompok pembudidaya rumput laut sehingga modal untuk investasi dan pengembangan budidaya rumput bagi masyarakat semakin meningkat dan meluas. Peningkatan profesionalisme Sumber Daya Manusia pembudidaya rumput laut di Kabupaten Sumba Timur juga merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi rumput laut. Dengan adanya kegiatan pelatihan budidaya rumput laut yang dilaksanakan oleh BPPP banyuwangi, seluruh peserta pelatihan merasakan peningkatan pengetahuan, wawasan dan keterampilan mereka akan budidaya rumput laut. Adanya kerjasama dan sinergi antara BPPP Banyuwangi, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumba Timur dan Bank NTT maka diharapkan produksi rumput laut didaerah Sumba Timur semakin meningkat dan Indonesia dapat menjadi penghasil rumput laut terbesar di dunia pada Tahun 2015.


 Sumber : Tim Publikasi BPPP Banyuwangi


AS Naikkan Permintaan Udang Indonesia Hingga 20-30%

Bencana tumpahan minyak di laut Meksiko membawa berkah bagi industri udang di Jawa Timur (Jatim.) Pasalnya, sejak bencana itu* terjadi para pelaku usaha pengolahan dan budi daya udang di Jatim kebanjiran permintaan.

"Permintaan udang dari US meningkat hingga 20% hingga 30% sejak bencana tumpahan minyak di laut Meksiko. Pembeli di sana khawatir udang tercemar minyak," ujar Wiyanto Leo, direktur PT Sekar Bumi Tbk, di Surabaya, Camis (1/7).

Sayangnya, permintaan tinggi tersebut tidak seluruhnya bisa dipenuhi karena kini produsen pengolahan udang dalam negeri sedang kesulitan pasokan bahan baku. Iklim yang kurang mendukung serta serangan virus mengakibatkan banyak udang di tempat budi daya mati.

"Meski demikian, kami melihatnya sebagai peluang bagus dalam memperkuat pasar ekspor ke AS,"terang Wiyanto. Lebih lanjut dia menjelaskan, pihaknya tahun ini optimistis pasar udang, baik di dalam maupun luar negeri bakal membaik, setelah beberapa tahun terakhir terpukul krisis global dan gagal panen karena penyakit Terlebih lagi kepercayaan dari pembeli di pasar ekspor terutama AS yang mulai pulih, turut mendukung kondisi yang lebih baik.

"Tahun ini kami memperoleh order dari Sysco, suplierhzsft laut terbesar di AS. Ini yang membuat kami bersemangat lagi untuk berupaya meningkatkan kapasitas produksi tahun ini," ujarnya. Produksi 700 ton per Bulan . Rencananya, Sekar Bumi akan menambah kapasitas produksi dari saat ini sekitar 500 ton per bulan menjadi 700 ton per bulan. Untuk keperluan penambahan kapasitas produksi ini, perseroan telah menganggarkan dana Rp 5 miliar untuk penambahan mesin grading.cooking, pembekuan, serta mesin pembuat ice flake.

Saat ini, menurut Wiyanto, kontribusi pasar ekspor AS terhadap total ekspor perseroan sekitar 75%-80%. Dengan terbukanya pasar di AS untuk produk udang dari Jatim, tak hanya memberi peluang bagi pelaku usaha pengolahan udang, tapi juga petani tambak di Jatim. "Tapi peluang ini tentunya tidak akan bisa ditangkap jika tidak ada dukungan regulasi terutama terkait dengan bahan baku udang. Misalnya, saat ini banyak regulasi yang harus dijalani agar produk udang bisa masuk," katanya.

Direktur PT Sekar Bumi Tbk Freddy Adam menambahkan, pihaknya berharap revitalisasi tambak udang 1.000 hektare (ha) yang mulai digulirkan pemerintah segera berhasil. Keberhasilan revitalisasi bisa berdampak positif pada peningkatan industri pengolahan udang terutama di saat permintaan udang dunia meningkat. (Ros)

Sumber : Investor Daily 2 Juni 2010 h. 21


BPPP Banyuwangi Berupaya Meningkatkan Bulk Commodity Dalam Menunjang Minapolitan

Perikanan tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia diperlukan pengelolaan yang berorientasi jangka panjang (sustainability management). Pengembangan perikanan tangkap dalam program Minapolitan dapat dilakukan melalui efisiensi usaha baik teknis maupun sumberdaya manusianya sebagai upaya meningkatkan produktifitas dan peningkatan produksi perikanan tangkap. Dalam upaya meningkatkan produksi hasil tangkap, dapat dilakukan dengan otimalisasi usaha penangkapan ikan yang bersifat ”bulk commodity” yaitu mengembangkan penangapan ikan terhadap jenis-jenis komoditas perikanan dalam jumlah massal.  Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan perikanan tangkap berbasis jaring lingkar atau lebih dikenal dengan penangkapan ikan dengan jaring purse seine.
Dalam rangka implementasi kebijakan peningkatan produksi perikanan terbesar tahun 2014, pengembangan SDM Perikanan tangkap diperlukan sebagai upaya optimalisasi penggunaan alat tangkap secara efektif dan efisien dan bertanggungjawab.  Untuk itulah BPPP Banyuangi menyelanggarakan pelatihan penangkapan ikan dengan purse seine bagi nelayan Kabupaten Tanah Bumbu bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan.

Dipilihnya lokasi pelatihan tersebut dikarenakan Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan memiliki panjang garis pantai sekitar 158,7 Km2 dan luas perairan 640 Km² merupakan wilayah yang sangat potensial untuk pengembangan usaha kelautan dan perikanan di bidang penangkapan ikan. Sumberdaya manusia yang memadai serta teknologi yang ramah lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat kelautan dan perikanan khususnya di Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan. Purse seine merupakan jenis alat tangkap yang cukup dominan dipergunakan oleh nelayan di beberapa perairan Indonesia. Purse seine atau pukat cincin adalah suatu alat yang efektif untuk penangkapan jenis ikan pelagis yang gerombolannya besar (layang, lemuru, tuna, cakalang dan ikan-ikan pelagis kecil lainnya).


Sumber : Tim Publikasi BPPP Banyuwangi









Fighting the Last Revolution


In this case the neolithic revolution. The neolithic revolution is the term that’s used to describe the long, slow process by which human beings abandoned wandering around and scrounging up their food (“hunting and gathering”) to staying in one place and taking a more active role in producing their food (agriculture). This process started more than 10,000 years ago and continues right down to the present day.

It probably all started something like this. Long, long ago a band of human beings happened upon a patch of melons or some other equally delectable morsel, stopping long enough to eat up all of the melons, toss the leftover seeds and rinds around, and maybe even leave some of their excrement on the site. The next year, remembering last year’s feast, the band returned to the area, hoping for a repeat. Eventually some enterprising person noticed that the more they spread the seeds around the more melons there were the next year and decided to try dispersing the seeds even farther. Maybe they even noticed that the melons prospered more where they’d left their excrement the year before so they decided to spread that around a bit, too.

They may also have started deliberately choosing the tastiest and largest melons and preferentially selecting their seeds to spread around. Other innovations might have included tilling the soil a bit to improve the likelihood of germination or putting up barriers to prevent other critters from getting in on the feast first.

If they were successful enough, they eventually decided to stay around and tend these gardens to improve their yields and protect them from competitors. First horticulture, then agriculture was born.

Nowadays most human being live from the products of agriculture but there is one major exception to this: fish. We still catch vast amounts of wild fish from the rivers, lakes, and oceans. Unlike 10,000 years ago there are innumerably more of us trying to get in on the catch and we’re tremendously better at it than we used to be. Huge factory ships ply the oceans sucking practically every living thing out of a patch of ocean, processing them right there on the ships, and moving on.

I used to think that the obvious solution to this environmental degradation was aquaculture, extending the agricultural revolution to fish and crustaceans. Then I learned how inefficient aquaculture was and that it takes between 2 and 15 pounds of wild caught protein to feed one pound of cultivated seafood. Obviously, that’s no solution. It might be someday or it may never be. It’s certainly no solution right now.

Sumber : Aquaculture News


Chinese-German Cooperation To Develop 'SuperBio' Tilapia

AUSTRALIA - Several German and Chinese companies signed an agreement this month to produce completely controlled `Organic SuperBio Tilapia´ to sell in Europe and China.

The Baader Group, the Pourkian Group, the Fraunhofer Institute for production lines and construction techniques, San’an Technology Group and Maoming Hi-Taste Aquatic Product Technology Co Ltd all signed the deal on 12 June.

“We want to bring high quality products into the market, with an own philosophy, according to the today’s way of living and in a quality, which can be checked by the consumer immediately,” said Dr Dietrich Fischer, programme manager of poultry and fish at the Pourkian Group.

In recent years, a market for high class bio products has grown steadily in Germany and China. To serve these rising markets with high quality fish – whose quality is improved in the form of bio products – that will be regulated by these countries’ bio regulations, the companies will cooperate to create a closed Organic SuperBio process chain.

The partners agree that the organic fish products, which will be exported from China to Europe, must meet the European Union’s (EU) bio standards as well as the ISO, IF, GMP and GlobalGap standards. However, the firms aim to exceed EU bio standards, which permit five per cent of chemical additives.

Chinese partner San’an will conduct different tests, certificates and audits for the fish farmers.

“By a permanent control of the value added chain we will secure a constant high quality of the final products for the consumers,” said Professor Kai Mertins, who signed the agreement on behalf of the Fraunhofer Institute.

The Organic SuperBio products will be easily recognisable by customers through labelling, the firms said.

The Institute will ensure the Organica SuperBio standards are enforced. They must be developed and localised based on the valid Bio and processing standards.

All fish products will have their own brand.

“Together with the German and Chinese partners we will bring products into the market, which will surpass the European Bio decrees and which can be bought at affordable prices,” says Kourosh Pourkian of the Pourkian Group, the initiator of the project.

Maoming is one of the biggest aquaculture and processing companies for tilapia. The firm will have a leading role in the agreement.

The San’an Technology Group in Beijing is working to develop biological agriculture. It will also take a key role in the enterprise.

For over 90 years, the Baader Group has been a worldwide leading developer, producer and supplier of machinery for food stuff processing lines and especially for fish.

Pourkian specialises in the development and organisation of Bio markets in Europe.


Sumber : TheFishSite News Desk


Produksi Ikan Ditargetkan 10 Juta Ton pada 2011

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan 147 lokasi minapolitan di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia bisa mendongkrak target produksi perikanan hingga 10 juta ton pada 2011.

"Yang sudah ditetapkan Menteri ada 147 lokasi, untuk budi daya mendapat alokasi di 100 lokasi, sedangkan perikanan tangkap sebanyak 47 lokasi," kata Dirjen Budidaya Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Made L Nurdjana saat dihubungi, Kamis (24/6).

Namun, Made mengakui, untuk merealisasikan target tersebut, dibutuhkan tambahan anggaran, Jika tahun ini, di APBN, perikanan budi daya mendapatkan alokasi 500 miliar rupiah, pihaknya mengusulkan naik menjadi 850 miliar rupiah. "Tetapi kita tidak hanya bergantung ke APBN karena kontribusinya selama ini hanya 18-20 persen. Kita menggandeng swasta dan memanfaatkan kredit program," ungkap dia.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan pihaknya mengajukan anggaran lima triliun rupiah untuk mendukung pencapaian target produksi perikanan 10 juta ton pada 2011.Anggaran itu relatif bisa dipenuhi. Pasalnya, saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mendapat pagu indikatif 4,7 triliun rupiah untuk 2011. "Misalkan untuk budi daya perikanan, akan kita tingkatkan dari 500 miliar - 600 miliar menjadi 1,5 triliun rupiah," tandas Fadel. aan/E-2


 Sumber : Koran Jakarta 25 Juni 2010


Mendongkrak Pemasaran Ikan Dari Aceh

 “Produksi perikanan dari Tempat Pendaratan Ikan di Idi, Aceh Timur, setiap hari adalah 30-35 ton. Sebagian untuk konsumsi lokal, lainnya untuk diekspor ke Malaysia melalui Medan. Mengapa tidak langsung dari Aceh?” demikian pertanyaan yang dilontarkan oleh Dr. Miasuddin, dari Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, dalam Workshop yang diselenggarakan oleh FAO, Kementerian Kelautan dan Perikanan, INFOFISH Kuala Lumpur, dan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi NAD, di Banda Aceh (22/6).
          
Ikan dari Belawan, Medan, memasuki Malaysia, kebanyakan lewat pelabuhan Lumut, negara bagian Perak. Ekspor ikan dari Medan ke Malaysia sekitar 30 ton per hari. Dibanding Belawan, Idi memang memiliki beberapa kelemahan. Prasarana dermaga, pabrik es, cold storage belum ada, stasiun bahan bakar belum memadai, alur pelabuhan sering dangkal. Dan yang lebih penting lagi, pengusaha lokal yang cukup besar untuk melakukan ekspor belum ada.
         
Sangat jauh dibanding dengan pelabuhan perikanan Belawan, Medan, yang memiliki 4 pabrik es, 7 unit cold storage, 8 unit galangan kapal dan aktif berbisnis 20 pedagang besar bidang perikanan.
          
Perjalanan laut dari Idi ke Lumut, Malaysia, selama 16 jam, memang lebih lambat 4 jam, dibanding dari Belawan ke Lumut. Akan tetapi, pengangkutan lewat darat dari Idi ke Belawan juga memakan waktu lama.
          
Sebetulnya saat ini hubungan dagang produk perikanan antar wirausaha Aceh dengan Malaysia telah terjalin baik. Apalagi setelah FAO memfasilitasi sistem pemasaran dan informasi hanya menggunakan SMS handphone telah menjangkau 19 kabupaten di wilayah Aceh dan mitranya di Malaysia. Oleh karenanya, penguatan Pelabuhan Perikanan Idi di Aceh Timur, dan Lampulo di dekat Banda Aceh merupakan langkah strategis yang di dukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
          
Soen’an H. Poernomo, Kepala Pusdatin, KKP, yang memandu Workshop, menyampaikan bahwa titik kuncinya adalah tiga faktor, yakni ketersediaan prasarana, keberadaan pengusaha lokal, dan penguatan sistem pemasaran. Dalam aspek  prasarana, pemerintah provinsi telah membebaskan lahan, dan KKP telah mensuplai anggaran untuk dermaga. Apabila prasarana memadai, eksportir dari Medan tentunya akan tertarik juga ke Idi, dan pengusaha lokal juga diharapkan dapat tumbuh. Alternatif lain BUMN perikanan juga dapat berperan.
          
Sistem informasi harga yang ada di Aceh menurut Soen’an telah menjadi model, dan KKP akan memperluas secara bertahap ke tingkat nasional, dimulai dengan provinsi yang sudah siap, yaitu Jawa Timur, Yogyakarta dan Gorontalo. Erik Hempel, salah satu pembicara yang aktif membantu FAO dan INFOFISH, sepakat dengan rencana pemantapan pemasaran oleh KKP tersebut. Konsultan dari Norwegia ini menyatakan bahwa hanya dengan pemasaran yang baik maka tujuan mewujudkan Indonesia sebagai produsen terbesar hasil perikanan pada tahun 2015 akan tercapai.
          
Soen’an menambahkan, pengembangan ikan dari Aceh ini memiliki arti yang strategis dalam menanggulangi kemiskinan di wilayah tersebut. Jumlah penduduk miskin di Aceh sekitar 36%, dan lebih dari 80% nelayan tergolong miskin. Padahal, Aceh memiliki potensi yang cukup besar, dengan panjang pantai 2.467 km, luas areal budidaya 43.173,5 ha, serta potensi lestari laut sekitar 493,93 ribu ton per tahun.

Benih udang dan bandeng telah terkenal berasal dari Aceh. Pengembangan akuakultur di daerah ini juga termasuk yang terbesar setelah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dalam sejarah perikanan samudera, pelabuhan Sabang juga pernah menjadi alternatif pelabuhan perikanan Benoa, Bali dan Jakarta. ***


Sumber : Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi


Anggaran Pembangunan Kawasan Perikanan Rp 200 Miliar

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengalokasikan Rp 200 miliar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011 untuk membangun 28 kawasan khusus perikanan (Minapolitan) sebagai bagian dari pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).

"Sekarang kita sudah fokus lagi mengenai berapa per daerah dana yang dibutuhkan. Totalnya ada Rp 200 miliar untuk 2011," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Jakarta, pekan lalu. Menurut Fadel, pengembangan KEK harus memikirkan jenis komoditas diunggulkan agar kegagalan pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) tidak terulang. "Misalnya, Morotai untuk sentra tuna dan itu bekerja sama dengan luar negeri dan Boyolali untuk sentra lele," ungkapnya.

Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah menargetkan sudah memiliki paling tidak lima kawasan ekonomi khusus (KEK) yang sudah berkembang pada 2014. "Prioritas kita sampai 2014 paling tidak ada lima KEK (yang berkembang)," kata Hatta Rajasa.

Ia menyebutkan, pemerintah sedang mengevaluasi kelima KEK itu termasuk menetapkan strategi pengembangan, desain utama, dan kerangka kerja pengembangannya. Ketika ditanya lima KEK yang dimaksud mana saja, Hatta belum bersedia menyebutkan, namun lima KEK itu tersebar hingga ke Indonesia bagian timur.

"Nanti saya sampaikan, tapi itu sampai ke Indonesia Timur pun masuk seperti di Papua," katanya. Dia menjelaskan, pengembangan ekonomi wilayah dibagi ke dalam koridor-koridor ekonomi, di dalam koridor ekonomi terdapat KEK, dan di KEK terdapat kluster-kluster. "Jadi kalau kita mengatakan KEK Papua, ada kluster-kluster seperti Papua Barat, Merauke, dan Biak. Itu akan kita dorong menjadi daerah yang1 tumbuh pesat," katanya.

Terkait pemasaran hasil laut, Fadel mengatakan, secara bertahap komoditas perikanan lainnya akan diperdagangkan dengan sistem lelang elektronik. "Bulan depan (Juli) diawali dengan rumput laut. Selanjutnya, dikem-bangkan untuk mutiara dan tuna. Kita akan bahas ini lebih lanjut denganpihak pasar," paparnya.

Menurutnya, dengan cara ini, efisiensi pasar akan tercapai, transaksi terjadi secara transparan, dan indeks harga bisa terpacu setiap saat.

Diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai awal Juli 2010 akan mengembangkan pasar domestik rumput laut melalui sistem e-pasar. Pengembangan pasar dengan cara elektronik (e-pasar) itu diyakini cocok untuk mendukung struktur pasar komoditas rumput laut yang sekarang mencapai ribuan produsen.

Sebelumnya, Direktur Usaha dan Investasi KKP, Victor Nikijuluw, mengatakan, struktur pasar komoditas rumput laut di Tanah Air terdiri dari 29 pabrik pengolahan, ribuan produsen, dan ratusan pedagang, iB.yui



Sumber : Suara Karya  25 Juni 2010,hal.7

Menteri Fadel Kembangkan Produsen Ikan Domestik

Pemerintah menargetkan bisa menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar di dunia pada 2015. Saat ini, Indonesia masih menduduki posisi ke-6 di bawah Peru, Malaysia dan Thailand. Sementara posisi pertama masih dipegang China. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, untuk mencapai hal itu dia sedang melakukan perombakan besar-besar di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selain membuat terobosan program, dia juga mengubah pola anggaran di KKP.

"Saya ubah semua anggaran. Yang tadinya dirjen-dirjen yang menyentuh langsung nelayan anggaran kecil, saya tingkatkan berkali-kali lipat dan dijadikan ujung tombak. Sementara anggaran Sekjen dan Irjen saya jadikan hanya penunjang dan anggarannya dipangkas sebesar 11 persen saja. Padahal, sebelumnya sangat tinggi," kata Fadel dalam acara IKA-ITS Summit 2010 di Jakarta, kemarin.

Untuk tahun 2011, sambungnya, pihaknya juga akan mengajukan anggaran sebesar Rp 5 triliun. Dana ini sebagian akan digunakan untuk membeli kapal-kapal besar untuk nelayan dan budi daya ikan. "Tahun ini kita dapat anggaran Rp 3,2 triliun. Di pagu anggaran sementara untuk tahun 2011, dana KKP sekitar Rp 4,7 triliun. Tapi saya akan bicara lagi untuk ditambah. Sebab ini untuk kesejahteraan nelayan dan rakyat kecil," tuturnya.

Fadel melanjutkan, saat ini pi-haknya juga sedang berusaha mengembangkan kawasan nelayan dengan konsep minapolitan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan ekonomi yang berbasis perikanan dengan sistem manajemen kawasan berdasarkan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas, akselerasi tinggi.

Dalam pelaksanaannya, jelas Fadel, maka di setiap kawasan nelayan akan dibangung pabrik-pabrik produksi ikan, pabrik cs dan alat pendingin ikan. Dengan itu hasil ikan yang didapat oleh nelayan bisa punya nilai tambah dan tidak busuk kalau tidak laku.

"Kita targetkan dalam duatahun ini bisa membangun 48 minapolitan. Untuk tahun ini kita bangun 28 dulu. Salah satunya adalah kawasan Pelabuhan Ratu, Sukabumi," ucapnya. Untuk pembangunan itu, tahun ini KPP sudah menyediakan dana sebesar Rp 800 miliar. Dana ini, kata Fadel, memang jauh dari cukup. "Tapi yang penting di tiap kawasan nelayan ada tempat pengolahan, dan pabrik es dulu. Dengan begitu, harga ikan mereka tidak jatuh," imbuhnya.

Untuk budi daya, tahun ini KPP juga telah menyediakan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun. Alokasi ini naik tajam, sebab tahun lalu anggaran budi daya hanya sekitar Rp 600 miliar. Mcnurut Fadel, hal itu dilakukan karena budi daya ikan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. "Ikan-ikan seperti lele, patin, mas itu gampang sekali untuk dibudidayakan. Dalam tiga bulan saja sudah bisa dipanen. Makanya kita akan mcng-cnjot budidaya ini. Saya targetkan tahun depan produksi dari hasil budidaya bisa meningkat sampai 500 perscn."ujamya.

Dengan langkah ini. Fadel yakin secara bertahap posisi Indonesia sebagai produsen perikanan bisa naik secara perlahan. Tahun ini produksi ikan hanya sebesar 9,6 juta ton. "Tahun 2011 akan kita tingkatkan menjadi 10 koma sekian dan terus akan kita bikin lompatan sehingga pada 2015 produksi kita bisa mencapai 22 juta ton dan jadi yang terbesar di dunia," tandasnya. usu

 
Sumber : Rakyat Merdeka 24 Juni 2010


KKP Anggarkan Rp 5 Miliar untuk Wirausaha Pemula

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 5 miliar untuk paket wirausaha pemula khusus ikan air tawar, lele, pada 2011. Peningkatan produksi lele itu sejalan dengan tingkat konsumsi masyarakat

"Kita akan anggarkan Rp 5 miliar dan ini hanya dari Ditjen Perikanan Budi Daya saja," kata Dirjen Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Made L Nurdjana di Jakarta, kemarin. Menurut Made, dukungan untuk peningkatan produksi lele tersebut juga didukung anggaran dari Ditjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) karena berkaitan erat dengan urusan investasi teknik pengolahan lele di sentra-sentra Minapolitan Lele. "Harapan kita Kementerian Pekerjaan Umum juga akan mendukung pengembangan MinapoHtan Lele dengan membuat irigasi mikro yang dapat memompa air sungai dan menyalurkan ke tambak rakyat," ujarnya.

Lebih jauh dia mengatakan, KKP telah menetapkan lima lokasi pengembangan Minapolitan Lele yang akan dipacu berproduksi hingga 30 ton per hari. Sentra-sentra besar tersebut akan berada di Bogor, Boyolali, Pacitan, Gunung Kidul, dan Blitar. "Ini sentra-sentra besarnya. Yang paling besar ada di Gunung Kidul yang sekarang berproduksi lima ton per hari dipacu agar bisa berproduksi 30 ton perhari," tuturnya.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, ada empat faktor yang akan dilakukan KKP dari sisi ekonomi untuk menggalakkan produksi hingga konsumsi lele. Pertama, menggiatkan budi daya lele skala kecil hingga menengah yang disebar di beberapa sentra utama. Kedua, mengupayakan agar memasyarakatkan lele sehingga konsumsi meningkat. Ketiga, mengembangkan industri atau pengolahan lele. Terakhir, menjadikan lele sebagai sumber pangan yang merambah berbagai kalangan.

"Selama ini lele lebih banyak dinikmati masyarakat kelas bawah. Kita akan membuat lele juga menyentuh kalangan elite negeri ini," ujar Fadel. Namun, dia mengingatkan, hambatan yang perlu dipecahkan adalah mengembangkan pakan lele murah sehingga biaya produksi menurun. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi lele pada 2014 meningkat sebesar 450 persen, yakni dari 200.000 ton per.tahun menjadi 900.000 ton per tahun. (B.yu)


Sumber : Suara Karya 24 Juni 2010


Satelit untuk Petakan Potensi Rumput Laut

Sumber hayati di pesisir Indonesia yang sangat luas, bahkan terluas di dunia, hingga kini hanya sebagian kecil yang telah teridentifikasi potensinya. Rumput laut salah satunya. Meskipun jumlahnya di Indonesia diketahui mencapai 682 spesies, hingga kini baru 20 spesies yang diteliti potensinya. Adapun yang dimanfaatkan secara komersial baru tiga spesies, yaitu Eucheuma cottonii, Glacillaria ve-rucosa, dan Sargasum.

Hal ini disampaikan Rachmaniar Rachmat, Ketua Ikatan Fi-kologi Indonesia (IFO. yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPD di sela acara Seminar dua hari bertema "Peranan Algae sebagai Sumber Pangan dan Energi Alternatif yang berakhir Rabu (23/6). Seminar ini diselenggarakan LIPI bekerja sama dengan IFI, Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) dan Indonesia Seaweed Society (ISS).

Satelit Jepang

Untuk mempercepat identifikasi potensi rumput laut, terutama jenis Sargasum, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan survei dan pemetaan menggunakan data penginderaan jauh satelit milik Jepang, yaitu Advanced Land Observing Satellite (ALOS) dan satelit Formosa kepunyaan Taiwan.

Hal ini disampaikan Jana T Anggadiredja, pakar rumput laut dari BPPT, yang juga Ketua ISS. "Satelit tersebut bekerja pada spektrum yang luas dan dapat menghasilkan resolusi sangat tinggi," ujar mantan Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT.

ALOS, antara lain, didesain untuk survei dan pemetaan sumber daya alam, termasuk di pesisir. Untuk itu, di satelit ini diterapkan sensor yang mutakhir, yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2), dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PAL-SAR).

AB Susanto, pendiri Yayasan Rumput Laut Indonesia, yang juga Koordinator Kerja Sama di Biro Perencanaan dan Kerja Sama Internasional Kementerian Pendidikan Nasional, mengatakan, peningkatan kemampuan dan jumlah sumber daya manusia dalam budidaya dan industri rumput laut dilakukan dengan mendirikan sekolah menengah kejuruan bidang rumput laut (YUN)


Sumber : Kompas 24 Juni 2010


Perketat Pengawasan Ekspor dan Impor

Pemerintah berniat memperketat pengawasan ekspor-impor produk perikanan menyusul kian meningkatnya arus perdagangan dalam dan luar negeri. Demi pengetatan pengawasan tersebut pemerintah segera menerbitkan aturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan pembentukan Badan Karantina Ikan.

"Enam bulan terakhir arus perdagangan hasil perikanan terus meningkat. Ekspor lebih besar dibanding impor, tetapi pemerintah dalam hal ini KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) tetap mengawas demi pengendalian mutu dan kesehatan," kata Direktur Pemasaran Luar Negeri KKP Saut Parulian Hutagalung di Jakarta, Senin (21/6).

Sementara itu, Dirut PT Fishindo Lintas Samudera Nanang Soengkono menegaskan pengetatan pengawasan merupakan langkah positif, namun tidak boleh menghambat proses ekspor-impor. Pengawasan, kata Nanang, terutama terkait kualitas produk impor yang masuk ke dalam negeri karena selama ini kurang diper-hatikan."Rencana pemerintah memperketat pengawasan sangat bagus agar perlakuan terhadap eksportir dan importir sama. Selama ini pengetatan lebih diutamakan bagi eksportir," kata Nanang, yang mengaku sering mengekspor tuna ke kawasan Timur Tengah dan AS tersebut

Menurut Saut Parulian, kian meningkatnya impor produk perikanan untuk konsumsi maka pengendalian mutu menjadi keharusan. Regulasi impor ini mengatur dari sisi perlindungan kesehatan dan kelayakan konsumsi (sanitary and phytosanitary). Pada dasarnya aturan ini diperlakukan sama antara produk yang masuk dan keluar."Prinsipnya resiprokal, kalau produk kita keluar harus memenuhi standar negera tujuan, demikian juga produk mereka yang masuk ke sini. Semua urusan pengawasan ada di bawah Badan Karantina Ikan," kata Saut Parulian.

Saut menjelaskan, Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu sudah keluar dan akan dioperasikan dalam waktu dekat Fungsi dan pengendalian mutu serta keamanan pangan selama ini sudah berjalan di KKP, walaupun ditangani dua unit kerja terpisah yakni Direktorat Standarisasi dan Akreditasi di Ditjen Pengolahan dan Pemasaran serta Pusat Karantina Ikan di Setjen KKP "Peraturan Menteri KP tentang pengendalian mutu nanti merupakan regulasi pertama selama 30 tahun. Selama ini itu, kita memang tak punya aturan tentang mutu, terutama produk impor," jelas Saut

Impor Lebih Kecil

Saut mengakui, volume impor produk perikanan selama ini lebih kecil dibanding ekspor. Impor tepung ikan untuk pakan perikanan budidaya misalnya, hanya berkisar 5% hingga 7% dibanding ekspor yang mencapai 60% hingga 70%.

Data KKP pada periode Januari hingga Maret 2010 menunjukkanekspor naik 8% dibandingkan Januari - Maret 2009 yakni dari US$ 577 juta menjadi US$ 622 juta. Sedangkan data impor 2008 menunjukkan, volume tercatat 280 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 268 juta. Tahun 2009 volume impot tercatat 332 ribu ton se-nilai US$ 300 juta, dan pada periode Januari - Maret 2009 volume impor sebesar 67 ribu ton dengan nilai US$ 58 juta. Pada Januari-Maret 2010 tercatat volume impor sebanyak 77 ribu ton dengan nilai US$ 77 juta.

Sedangkan volume ekspor 2008 tercatat 911 ribu ton senilai US$ 2,6 miliar, tahun 2009 volume impor 881 ribu ton senilai US$ 2,4 miliar, dan pada Januari -Maret 2009 volume impor 203 ribu ton dengan nilai US$ 577 juta, dan Januari Maret 2010 tercatat volume impor 235 ribu ton senilai nilai US$ 622 juta.Saut menjelaskan, meningkatnya permintaan produk perikanan ke Eropa menyusul diterbitkannya aturan Komisi Eropa No 219 Tahun 2010 yang mencabut Waji Uji Logam Berat atas produk tuna dari Indonesia.

Sedangkan meningkatnya impor, kata Saut dipicu berlakunya perjanjian perdagangan bebas antara Asean-Tingkok, serta antarnegara anggota Asean. Impor hasil perikanan Januari hingga Maret 2010 naik 32% dibandingkan Januari-Maret 2009 yakni dari US$ 58 juta menjadi US$ 77 juta, atau naik 13% dari total ekspor.Sejumlah produk perikanan seperti udang, kakap merah, tuna, cattle tish (octopus, cumi-cumi masih menjadi primadona."Khusus udang produksi kita masih terbatas meski permintaan Eropa tinggi. Produksi patin kita tinggi, tapi harga kalah bersaing dengan Vietnam," kata Saut.

Syarat API

Saut Parulian menjelaskan, pengetatan pengawasan juga mengatur persyaratan bagi importir. Persyaratan itu meliputi, Angka Pengenal Impor (API) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemen-dag). Jika impor untuk keperluan ba-han baku industri, maka importir ha-rus memiliki API-P (produsen). Importir merupakan unit pengolahan ikan (UPI) yang menerapkan sistem jaminan mutu (HACCP).

Jika impor untuk keperluan distribusi harus memiliki API-U (umum). Selain itu, produk impor harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan SNI, disertai sertifikat kesehatan, surat keterangan asal (certificate of origin) dari negara penghasil, memenuhi aturan pelabelan (proper labeling) dan maksimal penggelasan (glazing/soaking) produk 20%, dan harus masuk melalui pelabuhan yang ditentukan pemerintah.

"Penguatan pengawasan ekspor impor perikanan agar misi Indonesia mengembangkan industri pengolahan bisa terwujud," kata Saut Nanang menambahkan, kondisi yang membaik memacu pelaku industri meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan pasar ekspor."Permintaan produk perikanan di luar negeri nyaris tanpa batas, seperti Iran dan Tingkok," kata Dirut PT Fishindo Lintas Samudera itu. Qjr)

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


FAO To Assist Development Of Fisheries Sector

SRI LANKA - The United Nations' Food and Agriculture Organisation (FAO) has said that it will support the Sri Lankan government to develop its fisheries sector.
FAO
FAO South Asian Region Director Patric T. Evans had told Fisheries and Aquatic Resources Minister Dr Rajitha Senaratna that the FAO will assist Sri Lanka to increase its fish productivity through technical assistance and financial aid, reports Sri Lanka's Daily News.

Mr Evans said this to the Minister after a discussion held between them at the Fisheries and Aquatic Resources Ministry in Colombo. Dr Senaratna said Agriculture and fisheries will be key sectors to be developed to reach the level of being a self-sufficient country.

He said a fish production of 339,730 metric tonnes was made in 2009, and the government will increase it by 10 per cent in the next five years.

"We have implemented many programmes to develop fisheries in the North and East after the end of terrorism," he said.

The Government will provide fishing gears, houses for fisher families and modern technology, the Minister said. 

Sumber : The Fish Site


Pemerintah Kembangkan 5 Kawasan Ekonomi Khusus

Pemerintah menargetkan pengembangan lima kawasan ekonomi khusus (KEK) pada 2014. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, kelima KEK ini di luar kawasan yang sudah dikembangkan, seperti Batam, Bintan, dan Karimun.

"Pemerintah tengah mengevaluasi kelima KEK ini termasuk menetapkan strategi pengembangan, desain utama, dan kerangka kerja pengembangannya," kata Hatta usai rapat koordinasi (rakor) yang membahas KEK di Gedung Kantor Menko Perekonomian Jakarta, Selasa (22/6).

Hatta menjelaskan, pengembangan ekonomi wilayah dibagi ke dalam koridor-koridor ekonomi. Di dalam koridor ekonomi ini, kata dia, terdapat KEK yang terbagi menjadi cluster-cluster. "Jadi, kalau kami mengatakan KEK Papua, ada cluster-cluster seperti Papua Barat, Merauke, dan Biak. Ini akan kami dorong menjadi daerah yang tumbuh pesat" papar dia

Hatta menyebutkan, 48 kabupaten/kota sudah mengajukan kawasan di wilayahnya menjadi KEK, namun semuanya tidak memenuhi persyaratan. Dia menambahkan, basis pengembangan KEK meliputi beberapa sektor, seperti kelautan, sawit, pertanian, mineral,batubara, dan petrokimia. "Indonesia timur seperti Papua bisa kami tetapkan untuk pengembangan energi dan pangan, Jawa bisa untuk manufaktur, dan Sumatera bisa untuk oil chemical dan mineral," jelas dia.

Tawaran Menperin

Di tempat terpisah, Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengungkapkan, pihaknya telah menawarkan beberapa kawasan untuk menjadi KEK. "Saya sudah menawarkan wilayah sesuai kluster yang telah diluncurkan Kementerian Perindustrian, seperti Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Merauke, dan Jawa Barat di kawasan Pantai Utara," kata dia.

Saat ini, kata Hidayat, pemerintah membentuk tim kecil khusus untuk penetapan KEK. "Tim ini akan membahas komitmen pemerintah daerah, kebijakan fiskal dan nonfiskal, serta infrastruktur dasar di wilayah KEK," jelas dia. Selain itu, pemerintah berkomitmen menyelesaikan polemik pembebasan lahan antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan pemerintah daerah untuk memuluskan pembentukan KEK.

"Sebelum mengumumkan penetapan KEK, pertikaian kebijakan antara pemda dan Kemenhut terkait pembebasan lahan harus diselesaikan," tegas Hidayat. Di sisi lain. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Irawan Wirjawan mengatakan, pembangunan infrastruktur harus segera direalisasikan untuk menyukseskan KEK.

"Untuk menarik investasi dibutuhkan infrastruktur, selain itu KEK harus menyasar kawasan Timur Indonesia untuk pemerataan pembangunan," imbuh dia. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengalokasikan dana sebesar Rp 200 miliar pada 2011 untuk membangun 28 KEK perikanan atau minapolitan. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menilai, pemerintah harus memikirkan jenis komoditas yang bakal diunggulkan dalam KEK agar kegagalan membangun Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) tidak terulang.

Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Fadel, Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana membangun 48 titik minapolitan di 14 provinsi pada tahun ini. Minapolitan merupakan pembangunan industri perikanan yang berkelanjutan untuk industri rakyat. "Arti kata dasar minapolitan itu adalah mina untuk ikan dan politan untuk .kota. Pemikirannya sederhana, minapolitan atau kota, yang ekonominya berbasis ikan," kata Fadel.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin bidang UM KM dan Koperasi Sandiaga S Uno mengatakan, pembentukan KEK berbasis kawasan kluster adalah langkah tepat Hal ini akan mempermudah koordinasi, penetapan regulasi, pengadaan pasokan, tenaga kerja, dan infrastruktur, serta pemasaran. "Di sektor UKM, sistem kluster dengan one village one product (OVOP) terbukti bagus. Saya kira yang terpenting KEK harus otonomi dan mandiri dalam satu kendali gerak sehingga bisa meningkatkan daya saing," tutur dia. (ef)

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Fish Central sets up shop

JACKSONVILLE — Formerly an Arlington-based pet fish supplier, Fish Central Importers LLC. has moved its operation into the old Galaxy Boatworks building in south Jacksonville. Fish Central Co-owner Lacey Perry said the business was brought to Jacksonville to bring it closer to home and to the East Texas area.

“Jacksonville is a good town to do this in,” Perry said.

She added the facility’s location in Jacksonville will allow area schools to frequent the spot on field trips. In addition, a great deal of fuel will be purchased in Jacksonville because delivery trucks will constantly set out from and arrive at the location.

“We’ve worked very closely with the Jacksonville Economic Development Corporation in regards to bringing this here,” Perry also said. “Everyone has been open to us and welcoming.”

Jacksonville Economic Development Corporation President Darrel Prcin said aside from the 20-40 people Fish Central will likely hire over the upcoming months, other benefits will be given to the city at large.

“They’ll be occupying the old Galaxy Boatworks building, which was shut down a few years ago,” Prcin said. “At some point when they’re up and running they’ll also be offering tours.”

Prcin said because it’s taking over an old building visible along U.S. Highway 69, a good sign is important for both Fish Central and Jacksonville.

A private owner of Fish Central who wished to remain anonymous said as an import and export company of fish all around the world, Fish Central will bring in fish and disperse them to local pet stores from Jacksonville to outlying states such as New Mexico and Kansas

He said one reason Jacksonville was chosen was because it provides ease of distribution.

“We can leave here and go anywhere we want,” he said. “It’s probably one of the easiest places to get out of; you’ve got U.S. Highway 175 and Interstate 20.”

This week employees will work to bring the four-building, 56,000 square foot facility fully online.

The private owner said this includes an amount of piping measured not in yards, but in miles. He said he couldn’t begin to guess the total distance of the water pipes purchased from Heath and Heath Hardware in Jacksonville.

As a wholesale distributor of nearly any type of fish known to man, he said Fish Central receives its fish from places like Singapore, Malaysia and Hong Kong. It will also host about 16 tons of live rock for coral farms, rather than collecting coral from the ocean.

The private owner said the facility could be ready for business by June 28, with fish beginning to arrive by Tuesday or Wednesday to call Jacksonville’s water home.

“I’m surprised at how good Jacksonville’s water is,” he added. “We were pleasantly surprised at the welcome we got from Jacksonville and its people.”

Fish Central, which will sell pet fish to businesses such as Walmart and pet stores, was the focus of a recent JEDCO meeting in May. The JEDCO board agreed to give Fish Central $25,000 for relocation and cleanup from its Arlington location and $3,500 for each employee up to 40 employees for positions filled and maintained during the first two years.

Sumber : Jackson Ville Progess


Kabupaten Gorontalo Utara Siapkan SDM Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan Melalui Pelatihan Budidaya Rumput Laut Bersama Balai Diklat Perikanan Aertembaga-Bitung

Rumput laut merupakan salah satu komoditi yang termasuk dalam mata dagang internasional dan menjadi produk andalan/unggulan dalam jajaran komoditi perikanan. Dari bahan mentah rumput laut dapat dikembangkan ratusan jenis produk yang dimanfaatkan dalam berbagai bidang antara lain industri makanan, farmasi, kedokteran, kosmetika, kertas dan lain-lain. Budidaya rumput laut memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan produksi perikanan. Upaya meningkatkan produksi rumput laut dapat ditempuh melalui usaha budidaya dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relatif sederhana dan biaya produksi yang murah, sehingga budidaya rumput laut merupakan salah satu sumberdaya yang berbasis keunggulan komporatif untuk menggerakkan perekonomian masyarakat pesisir pantai.

Panjang garis pantai 320 km membuat kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo sebagai daerah yang memiliki potensi besar untuk pengembangan rumput laut yaitu sekitar 3.840 hektar yang termanfaatkan baru sekitar 256 hektar. Peluang rumput laut Eucheuma cottonii untuk dikembangkan di wilayah perairan Indonesia khususnya di kabupaten Gorontalo Utara begitu besar sehingga rumput laut menjadi salah satu program unggulan untuk pengembangan daerah minapolitan serta mempercepat program daerah "Gerbang Emas" (Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat) yang santer digaungkan oleh pemerintah Gorontalo Utara yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pembudidaya di kabupaten ini.

Dasar pelaksanaan kegiatan ini adalah Keputusan Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Aertembaga Nomor : 27/BPPP-BTG/DL.210/Kpts/V/2010 tanggal 19 Mei 2010 tentang penyelenggaraan Pelatihan Budidaya Rumput Laut Bagi Masyarakat Pembudidaya di Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap pembudidaya agar mampu dan terampil mengelola usaha budaidaya rumput laut. kabupaten Gorontalo Utara sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Gorontalo merupakan wilayah/kawasan yang termasuk dalam wilayah kerja Balai Diklat Perikanan Aertembaga-Bitung.

Pelatihan ini berlangsung selama 7 (tujuh) hari kalender yaitu mulai tanggal 8 s/d 14 Juni 2010 bertempat di Desa Tolongio Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara, dengan jumlah peserta sebanyak 30 (tiga puluh) orang yang bergelut di bidang usaha buddidaya rumput laut Eucheuma cottnii, yang berasal dari 2 kecamatan yaitu : Kecamatan Kwandang (Desa Ponelo) dan Kecamatan Anggrek (Desa Tolongio, Popalo dan Ilangata).

Dalam sambutan pembukaanya Sekretari Daerah Kabupaten Gorontalo Utara (Ir.H.Ismail Patamani) yang didampingi oleh Kepala Balai Diklat Perikanan Aertembaga (Pola S.T Panjaitan, A.Pi,MM) mengatakan bahwa sungguh beruntung Kabupaten Gorontalo Utara menjadi sasaran kegiatan ini, untuk itu para pembudidaya diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya dan secara serius mengikuti kegiatan pelatihan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dapat diterapkan dalam usaha mereka.

Kurikulum pelatihan disusn berdasarkan kompetensi kerja calon peserta pelatihan, dengan jumlah jan berlatih 54 jam @ 45 menit. Materi yang disampaikan terdiri dari teori 30% dan praktek 70%. Materi yang diberikan antara lain : Penentuan Lokasi usaha budidaya rumput laut dan mengukur beberapa parameter kualitas air (suhu, salinitas, kecerahan, kecepatan arus dan kedalaman perairan); Pembuatan Sarana Budidaya Rumput Laut; Morfologi dan Biologi Rumput Laut; Pemeliharaan Rumput Laut; Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen; Analisa Usaha Budidaya Rumput Laut.

Seluruh peserta sanagn antusias dalam mengikuti kegiatan ini baik teori maupun praktek dan selama proses belajar mengajar banyak terjadi pertukaran informasi dan bagi pengalaman baik antara peserta dengan fasilitator maupun antara peserta dengan peserta. Dalam kegiatan ini peserta membuat wadah budidaya dengan ukuran 100 m x 50 m dengan 30 tali ris dan menggunakan 1000 kg bibit ini telah disepakati bersama akan dikelola oleh beberapa orang purna widya dan seluruh pesertabisa memanfaatkannya dengan harga yang disepakati bersama pula.

Dalam sambutannya pada acara penutupan, Kepala Balai Diklat Perikanan Aertembaga mengharapkan kiranya kreativitas para peserta bisa tumbuh setelah selesai mengikuti kegiatan pelatihan ini, agar usaha budidaya rumput laut yang mereka geluti bisa semakin berkembang dan diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan produksi nasional komoditi rumput laut pada khususnya, serta melalui pelatihan ini diharapkan SDM Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara siap dalam melaksanakan program pengembangan kawasan minapolitan di wilayahnya. Selanjutnya Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara (Dede Soelaeman,A.Pi,M.Si) mengatakan dalam sambutannya sekaligus menutup kegiatan pelatihan ini bahwa diharapkan para pembudidaya rumput laut bisa menjadi penyumbang dalam mendukung visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan terbesar pada tahun 2015 dan kiranya ilmu yang didapat bisa juga ditularkan kepada orang lain yang tidak sempat mengikuti kegiatan ini. Disampaikan juga bahwa harga rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara cukup baik dalam pengembangan usaha budidaya rumput laut kedepan.



Sumber :Humas BPPP Aertembaga-Bitung   


Eksplorasi Laut Sulut

Kapal riset Amerika Serikat (AS) dari National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) Okeanos Explorer memasuki wilayah perairan Indonesia. Dijadwalkan bersama kapal Republik Indonesia dari BPPT, Baruna Jaya IV, melakukan eksplorasi kolaboratif di laut dalam perairan Sangihe-Talaud, Sulawesi Utara selama sekitar dua bulan, terhitung mulai kemarin. Kegiatan ini merupakan bagian dari bentuk kerjasama kemitraan jangka panjang RI - AS untuk bersama memajukan ilmiah kelautan, teknologi, dan pendidikan, yang penting bagi ekonomi dan lingkungan bagi kehidupan di bumi ini.

"Mulai dari ekspedisi berkolaboratif yang untuk kali pertama dilakukan oleh Okeanos Explorer dan yang pada ekspedisi internasionalnya yang pertama ini akan bersama-sama mengeksplorasi wilayah laut dalam yang belum pernah disibak kerahasiaannya, serta yang akan mengirimkan dari kapal, dengan waktu tunda dalam hitungan real lime," kata Gelwynn, kepala Badan Riset Kementerian Kelautan dan Perikanan kemarin, (nel)


 Sumber : Indo Pos

Sinergi untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Umum Daratan (PUD)

Istilah Perairan Umum Daratan pertama kali disepakati dalam Round Table Forum Perairan Umum Indonesia ke-2 tahun 2005 di Palembang yang dihadiri oleh birokrat, pakar dan peneliti pusat dan daerah.  Istilah ini digunakan untuk mengganti istilah perairan umum, perairan darat dan perairan tawar yang status kepemilikannya dikuasai negara.  Perairan umum daratan (PUD) Indonesia yang meliputi danau, waduk, sungai, rawa dan genangan air lainnya, memiliki luas sekitar 54 juta ha.  Luasan ini menempatkan posisi PUD Indonesia paling luas di negara asia setelah China (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2004).  Demikian disampaikan Dirjen Perikanan Tangkap Dr. Ir. Dedy H Sutisna, MS saat membuka Forum Koordinasi Pengelolaan Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan ke-1 (FODILAPETA PUD I) di Bogor 21 Juni 2010.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian dari Pusat Riset Perikanan Tangkap tahun 2005 (belum dilegalformalkan), total potensi produksi perikanan PUD Indonesia mencapai 3,035 juta ton/tahun yang terdiri dari 2,868 juta ton/tahun dari perairan sungai dan rawa banjiran, 158.000 ton/tahun dari danau dan 9.000 ton/tahun  dari waduk.  Sementara itu berdasarkan data statistik perikanan tangkap, volume produksi perikanan tangkap di PUD tahun 2008 mencapai 494.395 ton dengan nilai sebesar 5,013 triliun rupiah.  Volume produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di PUD tersebut, masing-masing memberikan sumbangsih sebesar 9,51% dan 5,60% dari total volume produksi dan nilai produksi perikanan tangkap.      

Secara keseluruhan perikanan tangkap di PUD memberikan peranan penting dalam hal : (a) sumber protein dan ketahanan pangan, (b) sumber lapangan kerja, dan (c) sumber pendapatan daerah.  Sejauh ini, menurut Dr. Ir. Dedy H Sutisna MS, berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun 2008, perikanan tangkap di PUD telah memberikan sumbangan sebesar 494.395 ton dalam penyediaan ikan untuk konsumsi maupun ekspor, dan sebanyak 496.499 orang (nelayan) terlibat dalam penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap.  Selanjutnya, Dirjen Perikanan Tangkap,  mengemukakan bahwa dalam kerangka pembangunan ekonomi daerah, perikanan tangkap di PUD memberikan kontribusi yang sangat penting.  Dicontohkan, Perairan Lebak Lebung di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, telah lebih dari 60 tahun berperan sebagai sumber pendapatan untuk pemerintah daerah melalui mekanisme lelang pemanfaatan perairan yang diselenggarakan secara berkala setiap tahun. Nilai hasil lelang ini terus meningkat dari tahun ke tahun.  Pada tahun 1987-1990 nilainya berkisar antara 290,8-316,5 juta rupiah (Nasution et al, 1993) dan pada periode tahun 2000-2004 telah mencapai kisaran 2,5-4,4 milyar rupiah (Dinas Pendapatan Daerah OKI, 2000-2004).

Selain itu dalam perpesktif plasma nutfah dan genetik, PUD Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, sehingga tercatat sebagai salah satu perairan dengan “mega biodiversity” di dunia.  Komisi Nasional Plasma Nutfah Indonesia melaporkan bahwa PUD Indonesia mengandung kekayaan plasma nutfah ikan yang jenisnya sangat banyak, mencapai 25% dari jumlah jenis ikan yang ada di dunia.  Dan menurut FAO terdapat sekitar 2.000 jenis ikan.  Tambahan pula, beberapa PUD di Indonesia menjadi obyek wisata alam yang menarik dan mendunia seperti Taman Nasional Danau Sentarum.     

Dalam forum yang dihadiri oleh Kementerian PU, Kementerian Lingkungan Hidup, para Eselon II dan III lingkup KKP, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi seluruh Indonesia, Dirjen Perikanan Tangkap mengemukakan pentingnya membangun sinergi lintas sektor dalam pengelolaan sumberdaya ikan di PUD.  Hal ini cukup beralasan sebab selama ini PUD dimanfaatkan oleh multi sektor, sehingga dampak dari kegiatan sektor lain bisa memberikan gangguan terhadap habitat dan kelestarian sumberdaya ikan.  Akhirnya, forum ini memiliki nilai strategis sebagai jalan pembuka untuk membangun sinergi dimaksud, pungkas Dirjen Perikanan Tangkap.

Sumber : Dirjen Perikanan Tangkap