Danau Sentani Dibeli dengan Satu Gelang dan Tiga Manik-Manik

Asal mula Danau Sentani tentunya belum banyak yang tahu bagi masyarakat Papua terlebih bagi masyarakat asli Sentani Kabupaten Jayapura. Namun, kita akan mengetahui dari balada berdurasi kurang lebih 45 menit yang ditampilkan sanggar tari Honong pimpinan Theo Yepese pada pembukaan Festival Danau Sentani (FDS) III, Sabtu (19/6) pekan lalu.

Seperti apa cerita terjadinya Danau Sentani?

Indonesia, merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai beragam suku dan budaya yang berbeda beda. Tentu, dengan keanekaragaman budaya tersebut, menyimpan berjuta cerita masa lampau (sejarah) yang diwariskan secara turun-temurun, sebut saja cerita tangkuban perahu, maling kundang, candi borobudur dan sebagainya.

Papua, termasuk salah satu ras di Indonesia yang paling unik dan juga memiliki jutaan cerita masa lalu, yang salah satunya adalah sejarah terjadinya Danau Sentani. Tarian Keping, yang mengisahkan rahasia awal terjadinya Danau Sentani dengan dimainkan sekitar 40 orang berkostum khas Papua itu, menguak kembali terjadinya Danau Sentani ke permukaan publik.

Hanya dengan sebuah harta karun berupa gelang Kristal (Heba), dan tiga biji manik-manik yang dalam bahasa suku Sentani disebut dengan Hawa, Hae dan Naro. Ondofolo (Kepala Suku) Walli bersama kerabatnya Hoboy, membeli air di penguasa pegunungan Robonsolo (Sekarang Cycloop) bernama Dobonay pada masa lalu, untuk meminta air bagi rakyatnya.

Ondoafi Wali dan Hoboi hidup di atas satu bukit yang disebut Yomokho di Kampung Donday, Sentani. Di atas bukit ini tidak ada air sebagai sumber kehidupan, maka Ondofolo bersama Hoboy naik ke Gunung Robonsolo untuk menghadap Dobonai, penguasa air dengan membawa sejumlah harta karun untuk membeli air.

Cerita berawal ketika masa lalu terjadi bencana kekeringan yang melanda seluruh daerah Sentani, dan berdampak pada kehidupan rakyat Sentani. Tak menunggu lama, Ondofolo langsung mengajak Hoboy untuk pergi membeli air keabadian (air yang tak pernah berhenti mengalir) kepada Dobonay di Gunung Robonsolo.

Air itupun dibeli dari Dobonay, yang pada saat itu pembayarannya dilakukan kepada kedua anak Dobonay, yakni Bukunbulu dan Robonway. Meski sempat terjadi kesalahan dalam pembayaran, tetapi saat itu permasalah tersebut dapat ditengahi oleh Dobonay. Setelah mendapat air, Ondofolo Wali bersama kerabatnya pulang ke rumah.

Sebelum pamit, Dobonay berpesan agar di perjalanan nanti, jika bertemu hewan jangan diburu. Sebab, jika dilanggar, akan terjadi cobaan bagi mereka berdua. Tetapi karena sifat manusia, aturan tersebut dilanggar, Ondofolo Wali dan Hoboi melupakan pesan Dobonay, justru keduanya memburu seekor hewan yakni burung Kasuari.

Sebuah tembakan anak panah dari Haboy berhasil mengenai sasaran, namun alangkah kagetnya kedua manusia itu, sebab burung kasuari tersebut langsung menghilang bersamaan dengan air keabadian yang dibawa oleh keduanya.

Bersamaan dengan peristiwa tersebut, datanglah sebuah air bah dan menghanyutkan semua benda-benda yang berada disekitar tempat tersebut, dan selanjutnya air bah itu membentuk telaga raksasa yang saat ini dikenal dengan Danau Sentani.
Kejadian ini harus dibayar mahal dengan tenggelamnya anak Ondofolo Wali. Namun keteguhan dan rasa bertanggung jawab kepada rakyatnya, sang Ondofolopun sempaty meratap berlama-lama atas kematian anaknya itu.

Namun, dirinya langsung mengajak seluruh rakyatnya untuk secara bersama-sama menyampaikan ucapan syakur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan pemberian telaga raksasa yang terbentang dari Nolobu (Timur) Kampung Yokiwa hingga Waibu (Barat) Kampung Doyo dan sekitarnya yang berada hingga saat ini.

Dengan peristiwa ini, Ondofolo Wali menyadari bahwa untuk memperoleh sesuatu yang baik harus ada pengorbanan, sekali pun itu adalah orang yang sangat dicintai.

Sumber : Kabar Indonesia


0 komentar: