PT Fishindo Lintas Samudera mengekspor 6 ribu ton tuna ke Iran tahun ini. Permintaan tuna loin ke Timur Tengah meningkat, dan Iran tercatat sebagai salah satu negara tujuan ekspor dengan permintaan tak terbatas.
"Berapapun yang kita ekspor pasti terserap. Iran menjadi salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang suka makan ikan tuna," kata Dirut PT Fishindo Lintas Samudera Nanang Soengkono kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (15/6).
Nanang mengakui kemampuan memasok tuna loin ke Iran sebesar 6 ribu ton tahun ini sebenarnya kurang dari volume yang dibutuhkan Iran. Negara itu, kata Nanang, membutuhkan tuna loin tanpa batas, yang menandakan komoditas laut itu benar-benar diminati. Pada tahun 2009 ekspor Fishindo ke Iran baru mencapai 2 ribu ton, dari sebelumnya, tahun 2008 1.000 ton. Selain tuna jenis loin, Fishindo juga memasok cakalang ke Timur Tengah dengan volume bervariasi untuk setiap negara.
Menurut Nanang, negara-negara kawasan itu, termasuk Iran, mulai meminati produk perikanan siap saji, sehingga permintaan ikan pada umumnya maupun tuna khususnya dalam bentuk mentah (fresh) perlahan berkurang.
"Sekarang kita memasok dalam bentuk siap saji atau setengah jadi dengan kemasan kaleng. Itu berarti ekspor mentah perlahan berkurang. Semua standar produk sudah sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dua pihak," jelas Nanang.
Nanang menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan eksportuna loin ke Iran, Fishindo lintas Samudera yang memiliki pabrik di Benoa, Bali, itu harus membeli tuna segar dari sejumlah daerah nelayan, khususnya bagian Timur Indonesia. Tuna yang dibeli selanjutnya diproduksi di Benoa, Bali, dengan spesifikasi produk dan standar pangan yang disepakati keduanegara. Prosedur pemeriksaan dan pengujian standar mutu pangan yang diterapkan Iran dan negara Timur Tengah lainnya diakui tidak terlalu ketat dibanding AS maupun Eropa.
Namun demikian, kata Nanang, pihaknya tetap memprioritaskan standar mutu dan kesehatan (higienis) agar tidak berdampak negatif terhadap kinerja perseroan. "Sebab, jika tidak sesuai stan-dar pangan negara tujuan, semua biaya ekspor dan produksi ditanggung kita," jelas Nanang. Dia mengakui, pabrik di Benoa berkapasitas produksi 10 ton tuna atau cakalang setiap hari. Kebutuhan terhadap ikan tersebut dipasok dari sejumlah daerah, khususnya dari kawasan timur Indonesia.
Perluas Pasar Sebelumnya, Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Parilian Hutagalung mengakui, nilai ekspor produk perikanan ke Timur Tengah kian meningkat. Periode Januari 2010 hingga Maret 2010 nilai ekspor ikan Indonesia ke pasar Timur Tengah melonjak 35% dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ekspor itu dipicu meningkatnya permintaan produk perikanan di kawasan itu, menyusul gencarnya promosi yang digelar pemerintah dan swasta Indonesia.
"Kawasan Timur Tengah tergolong pasar baru yang dibidik Indonesia. Tapi, permintaan ikan terus meningkat, dan kita akan terus perluas pasar dan meningkatkan volume," kata Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Parulian Hutagalung (Investor Daily 14/6).
Secara nasional total nilai ekspor produk perikanan periode Januari 2010-Maret 2010 mencapai 621,8 juta dolar AS, meningkat dari 577,2 juta dolar AS tahun 2009. Sedangkan nilai ekspor ke kawasan Timur Tengah pada Januari 2010-Maret 2010 mencapai 22,3 juta lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu di level 16,4 juta dolar AS.
Sementara itu, di tahun 2008 (total setahun) nilai ekspor ke kawasan Timur Tengah tercatat 46 juta dolar AS, naik 39,6% menjadi 63 juta dolar AS tahun 2009. Negara-negara tujuan ekspor Indonesia meliputi Arab
Saudi yang mencatat nilai impor ikan asal Indonesia per tahun menacapai 37-48 juta dolar AS, Mesir 6-9 juta dolar AS, dan Iran 1,6-3,1 juta dolar AS.
Menurut Saut, permintaan atas produk tuna khususnya pre-cooked\d\n, bandeng, cattle 6sh (cumi-cumi, octopus), dan lobster kian meningkat. Saat ini, pembahasan dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk beberapa produk perikanan sedang berlangsung.
Dia menjelaskan, permintaan terhadap produk perikanan RI selain untuk dikonsumsi secara lokal di sana, namun juga demi memasok kebutuhan pelayaran kapal-kapal wisata dan kapal pelayaran internasional lainnya di kawasan itu.
"Yang memasok produk perikanan ke kapal-kapal adalah supermarket di sana, sementara supermarket mengimpor dari kita," jelas Saut.
Sejumlah produk perikanan Tanah Air yang diminati Timur
Tengah meliputi tuna beku, pre-cooked tuna loin, udang beku, ikan hias, kerupuk ikan, cumi-cumi, lobster, bandeng, dan ikan olahan yang kering. Negara-negara Timur Tengah yang mengimpor produk perikanan kita antara lain, Arab Saudi, Yordania, Yaman, Uni Emirat Arab, serta Iran.
Pelaku usaha swasta, kata Saut, juga makin banyak yang menjajaki pasar Timur Tengah yang sekaligus didukung promosi oleh KBRI di negara-negara kawasan itu.
Eropa dan AS
Menurut Nanang, selain memperluas pasar ekspor ke Timur Tengah yang tergolong baru, pihaknya tetap fokus mempertahankan pasar Eropa dan Amerika Serikat (AS). Produk perikanan Indonesia seperti tuna, cakalang, lobster, udang, dan bandeng tetap diminati di Eropa dan AS. Awal tahun ini, kata Nanang, Fishin-do Lintas Samudera mengekspor 150 ton tuna loin ke Belanda sebagai uji coba.
"Satu-satunya negara di Eropa yang suka bandeng adalah Rusia. Amerika membutuhkan udang dan lobster, namun standar mutunya ketat Kami akan tetap fokus juga di AS dan Eropa," kata Nanang.
Dia mengakui, sejalan dengan upaya perluasan pasar khususnya ke Timur Tengah, penerapan bea masuk yang berkisar 25-40% bisa menjadi hambatan. Pasalnya, produk perikanan dipastikan kalah bersaing dibanding produk serupa dari Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Belum lama ini, mantan Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) periode 2006-2010 Shidiq Moeslim belum lama ini menegaskan produk perikanan Tanah Air harus memiliki daya saing tinggi. Daya saing, kata Shidig, tidak terlepas dari praktik ekonomi industri peri-kanan yang dipastikan harus murah atau setidaknya tidak tergolong ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
"Sangat ironis kalau kita mengaku menjadi produsen terbesar ikan dunia, tapi biaya ekspor kita jauh lebih mahal dari Thailand atau Filipina. Itu berarti industri ekonomi perikanan kita masuk kategori high cost economy. Dengan begitu kita tak punya daya saing," jelas Shidiq.
Shidiq berharap, upaya pemerintah memperluas pasar ekspor harus berjalan bersamaan dengan upaya memangkas praktik ekonomi biaya tinggi.
"Daya saing terletak pada biaya ekonomi industri. Kalau biaya ekonomi industri perikanan kita rendah, kita punya daya saing tinggi, begitu juga sebaliknya. Percuma, kalau produksi ikan kita nomor I, tapi biaya ekspor kita lebih mahal 1,5 kali dibanding Thailand. Ini ironis," tegas Shidiq.
Sumber : Investor Daily
0 komentar:
Posting Komentar