Dilema Pengelolaan Sumber Daya Perairan

Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini-sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa terancam kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari  semakin terancamnya kehidupan biota biota dan lingkungan perairannya. Dengan demikian, sangat diperlukan upya untuk mengelola sumberdaya perairan secara bijak dan konsisten untuk menjaga kelestariannya.  Hal ini terutama dalam menjaga keseimbangan antara biota dan abiota.  Menurut Sujiran (1984) yang menyatakan bahwa pentingnya menjaga keseimbangan karena organisme perairan cenderung membutuhkan yang layak, organisme ini juga sangat terpengaruh dengan perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan ini yang meliputi temperatur air, salinitas atau kadar garam, PH, transparansi, gerakan air, kedalaman, topografi dasar perairan, kandungan dasar perairan, kandungan oksigen, kandungan nutrisi perairan dsb. Ikan-ikan juga cenderung bergerombol dalam jumlah yang sesuai dengan kondisi lingkungan dengan segala perubahannya.

Dijelaskan oleh Nybakken, (1992) yang berpendapat bahwa sumberdaya ikan, meskipun termasuk sumberdaya yang dapat pulih kembali (renewable resources) namun bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu perlu dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan agar kontribusinya terhadap ketersediaan nutrisi, peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Hal ini seperti ditegaskan oleh Surur (200), bahwa pengelolaan sumberdaya ikan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan operasi penangkapan ikan dan sasaran penangkapan ikan yang dilakukan. Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman kepunahan, sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh berbagai ahli penangkapan ikan di seluruh dunia.

Seperti dijelaskan oleh Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa semakin menipisnya sumberdaya alam di wilayah daratan menyebabkan banyak program pembangunan yang bergeser ke wilayah pesisir dan lautan yang dinilai masih memiliki sumberdaya ber nilai ekonomis tinggi. Upaya untuk meningkatkan peran sumberdaya pesisir dan kelautan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata selama ini masih dihadapkan pada beberapa kendala. Antara lain kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir, keterbatasan peraturan, konflik penggunaan ruang,  kerusakan lingkungan.Manurut Dahuri (2001), bahwa ada beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah: (1) pemanfatan berlebih (over exploitation) sumberdaya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam.

Meskipun potensi sumberdaya periaran terutama perikanan laut Indonesia sangat besar ternyata belum semua tergali secara optimal. Dengan luas perairan  5,8 juta km2 (termasuk ZEEI), potensi lestari sumber daya ikan 6,4 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatannya baru 5,5 juta ton/tahun.  Dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah laut yang terdiri dari 0,8 juta km² laut territorial, 2,3 juta km² laut nusantara, dan 2,7 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan garis pantai sepanjang 81 ribu km tidak hanya menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, tetapi juga menyimpan sumberdaya kekayaan laut baik secara kuantitas maupun diversitas (DKP, 2005). Data FAO menunjukkan, dari 52 negara papan atas dunia penghasil ikan, Indonesia saat krisis moneter berawal pada 1997 menempati urutan ke-7 dengan produksi lebih dari 3,65 juta ton. Cina tetap nomor wahid, lebih dari 16,7 juta ton, disusul Peru, Jepang,Chilli,, AS, dan Rusia. Di bawah Indonesia adalah India dan Thailand (DKP, 1999).  Indonesia benar-benar dikenal sebagai kawasan tangkapan ikan yang sangat potensial di dunia. Bahkan tahun pada tahun 1980 an, perairan Indonesia dianggap sumber daya ikan (SDI) terbesar di dunia setelah kawasan-kawasan lain di bumi ini telah ludes dijaring nelayan dari berbagai negara. Dari sajian angka Departemen Kelautan dan Perikanan (1999), SDI Indonesia tak kurang dari 8,2 juta ton. Dari angka ini, sedikitnya 6,7 juta ton termasuk ikan layak tangkap (TAC= total allowable catch).

Beberapa upaya dilakukan untuk dapat mengelola sumber daya perikanan secara konsiten,  bahkan terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contohnya adalah pembagian daerah perairan di Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan.  Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudra Hindia. Tuna ini seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa.

Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia. Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Kegiatan pendugaan stok ikan disebut sebagai fish stock assessment dan metode yang digunakan disebut stock assessment methods. Dijelaskan oleh Wiyono (2005), bahwa stock assessment merupakan suatu kegiatan pengaplikasian ilmu statistika dan matematika pada sekelompok data untuk mengetahui status stok ikan secara kuantitatif untuk kepentingan pendugaan stok ikan dan alternatif kebijakan ke depan.

Sebenarnya hal ini sudah menjadi perhatian para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan kelauatan dan perikanan.  Lebih lanjut Wiyono (2005) menyatakan bahwa  penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati- hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi. Salah satu contoh adalah faktor teknologi yang berkembang dengan pesat sehingga kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per unit effort/CPUE) akan sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi. Artinya, koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSY tidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknologi.
Hal lain yang ingin di tekankan adalah pemahaman mengenai Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia rugi Rp 1-4 miliar dollar AS akibat kegiatan pencurian ikan.(DKP 2005).  Selain kerugian finansial, kerugian terbesar dialami sumber daya perikanan itu sendiri.  Illegal fishing pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran yang berorientasi pada peraturan yang berlaku  Konsep dasar peraturan yang berkaitan dengan perikanan didasarkan pada kebutuhan  kelesatarian sumberdaya perikanan dan ekonomi.  Dalam sisi kelestarian sumberdaya perikanan tentu saja untuk menjaga agar sumberdaya ikan tidak punah dan selalu terjaga agar dapat dimanfaatkan secara kontinyu dalam jangka panjang.  Sedangkan dalam sisi ekonomi, didasarkan pada kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan atau devisa bagi negara. Pada akhirnya semakin disadari bahwa pengelolaan sumberdaya perairan begitu penting dalam mempertahankan aksistensi kelestarian alam untuk kepentingan umat manusia.



Pustaka
  1. Dahuri, Rokhmin, dkk. (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta
  2.  DKP., 1999., Statistik Perikanan.  Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
  3. DKP., 2005., Revitalisasi Perikanan, Sekretariat Jenderal. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
  4. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. Penerbit PT. Gramedia
  5. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka alam, Jakarta.
  6. Sudjiran Resosudarmo,  1984., Pengantar Ekologi, CV. Remaja Karya, Bandung
  7. Surur F., 2000.  Alat dan Cara Penangkapan Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
  8. Eko Sri Wiyono, 2005.  Stok Sumberdaya Ikan dan Keberlanjutan Kegiatan Perikanan, INOVASI Vol.4/XVII/Agustus 2005


0 komentar: